Ziarah Kubur ala Agama Nasrani

Published 17 April 2013 by Mualaf Center Indonesia

tabur bungaZiarah Kubur sering dilakukan oleh Orang Kristen, umat Kristen yang belatar etnis Timor/NTT, Minahasa, Maluku, dan juga pada Suku Batak yang beragama Kristen.

Secara khusus, pada orang-orang NTT maupun diaspora, biasa melakukan ziarah ke kuburan pada waktu tanggal penting dari orang yang telah meninggal tersebut, misalnya tanggal kelahiran dan kematian.

Khususnya, menjelang Hari Natal, tanggal 24 Desember, maka jika anda ada di Kupang, maka sepanjang hari ini, semua pemakaman di sekitar Kota Kupang, ramai bagaikan pasar malam dadakan; karena ada semacam kewajiban, sebelum merayakan Natal, harus sungkem/sowan ke orang tua. Dengan itu, bukan saja rumah di cat ulang dan tampak barang-barang baru, namun makam orang tua pun, dibersihkan, diberi bunga-bunga, lilin dan lain sebagainya.

Berbeda dengan Katholik, jika berziarah ke makam santo atau santa, orang yang mereka anggap orang suci (kalau sama orang islam mungkin disebut Wali).

Orang Katholik, ketika ziarah ke makam tersebut, selain membaca doa arwah ,pujian/nyanyian, mereka juga meminta berkah/ngalap berkah (kalau orang islam menyebutnya Tabaruk Istighosah).

Misalkan doa mereka:
“melalui perantara Santa Agnes, kami berdoa pada Tuhan Allah Bapa yang Maha Kuasa……… dst

Perlu diketahui, Ziarah kuburan dan Tabur Bunga/kembang itu bukan umat nasrani sendiri meniru Adat Istiadat China kurang lebih 1.800 tahun yang lalu dalam Hari Ritual Ziarah Kubur Festifal Cheng Beng (Qing Ming), sekarang biasanya dirayakan tiap tanggal 5 April oleh masyarakat tionghoa

 

ZIARAH KUBUR MENURUT SYARI’AT ISLAM

Yaitu ziarah yang telah disyari’atkan oleh Islam dan harus terpenuhi padanya tiga syarat:

1). Tidak sungguh-sungguh (menyengaja) mengadakan perjalanan kepadanya
Dalilnya adalah hadits dari Abu Sa’id Al-Khudriy radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَشُدُّوا الرِّحَالَ إِلاَّ إِلَى ثَلاَثَةِ مَسَاجِدَ: مَسْجِدِيْ هَذَا، وَالْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَالْمَسْجِدِ الأَقْصَى
“Janganlah kalian bersungguh-sungguh (menyengaja) mengadakan perjalanan kecuali kepada tiga masjid (yaitu): masjidku ini (Masjid Nabawi), Masjidil Haram, dan Masjidil Aqsha.” (HR. Al-Bukhariy no.1139 dan Muslim dalam kitab Al-Hajj 2/976 nomor khusus 415 dan ini lafazhnya, dan diriwayatkan pula oleh Al-Bukhariy no.1132 dan Muslim no.1397 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu dengan lafazh penafian)

Kita disyari’atkan bersungguh-sungguh dan menyengaja untuk mengadakan perjalanan ke tiga masjid ini karena adanya keutamaan di sana yaitu dilipatkan pahala shalat di tiga masjid tersebut. Seperti shalat di Masjidil Haram maka pahalanya sama dengan 100.000 kali shalat di masjid yang lain selain Masjid Nabawi dan Masjidil Aqsha.

Adapun bersungguh-sungguh (menyengaja) mengadakan perjalanan ke selain tiga masjid ini dalam rangka mencari berkah dan keutamaan seperti ke kuburan, maka ini adalah perbuatan bid’ah.

2). Tidak boleh mengatakan perkataan yang keji
Dalilnya adalah hadits dari Buraidah radhiyallahu ‘anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَزُوْرُوْهَا
“(Dulu) Aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) berziarahlah kalian.” (HR. Muslim no.977)
Diriwayatkan juga oleh An-Nasa`iy dengan sanad shahih dalam kitab Al-Janaa`iz bab (100) 4/89 dengan lafazh,
نَهَيْتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ الْقُبُوْرِ فَمَنْ أَرَادَ أَنْ يَزُوْرَ فَلْيَزُرْ وَلاَ تَقُوْلُوْا هُجْرًا

“… (Dulu) Aku pernah melarang kalian berziarah kubur, maka (sekarang) barangsiapa yang ingin berziarah maka berziarahlah dan jangan mengatakan perkataan yang keji.”
Maka perhatikanlah semoga Allah merahmatimu, bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kita dari perkataan yang keji dan bathil ketika ziarah kubur, dan ucapan yang mana yang lebih keji dan lebih bathil daripada ucapan seseorang yang berdo’a (meminta) kepada selain Allah dari orang-orang yang telah mati, beristighatsah (meminta pertolongan ketika dalam kesulitan) kepada mereka ataupun ucapan-ucapan syirik lainnya?

Maka tentunya ini, demi Allah, benar-benar kekejian dan kebathilan yang paling puncaknya, akan tetapi perkaranya adalah sebagaimana yang Allah firmankan,
وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لاَ يَعْلَمُونَ

“Akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.”
Ayat ini terdapat dalam 11 tempat di dalam Al-Qur`an yaitu, Al-A’raaf:187, Yuusuf:21, 40, 68, An-Nahl:38, Ar-Ruum:6, 30, Saba`:28, 36, Al-Mu`min:57, dan Al-Jaatsiyah:26.
Dan sungguh benar Allah ketika berfirman,
وَمَا يُؤْمِنُ أَكْثَرُهُمْ بِاللَّهِ إِلاَّ وَهُمْ مُشْرِكُونَ
“Dan sebahagian besar dari mereka tidak beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain).” [Yuusuf:106]

3). Tidak boleh mengkhususkan dengan waktu tertentu karena tidak ada dalil yang mengkhususkan
Seperti mengkhususkan hari jum’at, hari raya ataupun hari-hari lainnya, karena tidak ada dalil yang menerangkan hal ini. Bahkan kita dianjurkan ziarah kubur kapan saja tanpa pengkhususan pada hari-hari tertentu.

2. Ziarah Bid’ah
Yaitu ziarah yang tidak terpenuhi padanya satu syarat dari syarat-syarat yang telah disebutkan, apalagi lebih dari satu syarat. Misalnya datang dari jauh-jauh untuk ziarah ke kuburan, atau beribadah kepada Allah di sekitar kuburan dengan anggapan dan perasaan mereka bahwa hal ini lebih mengkhusyu’kan dalam beribadah. Atau mengkhususkan hari-hari tertentu. Semuanya ini adalah perbuatan bid’ah.

3. Ziarah Syirik
Yaitu ziarah di mana pelakunya terjerumus pada salah satu jenis dari jenis-jenis kesyirikan seperti berdo’a (meminta) kepada selain Allah, atau menyembelih untuk mereka, atau bernadzar untuk mereka, atau beristighatsah kepada mereka, atau meminta perlindungan kepada mereka, atau meminta anak, meminta pertolongan, hujan, kesembuhan atau untuk mengalahkan musuh dan menghilangkan kemudharatan/bahaya serta mendatangkan kemanfaatan dan yang lainnya dari jenis-jenis kesyirikan. (Lihat Majmuu’ Fataawaa Syaikhil Islaam Ibni Taimiyyah 1/165-166)
Dalam Shahih Muslim (no. 780)

dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda;
“Janganlah engkau jadikan rumahmu seperti kuburan. Sesungguhnya setan lari dari rumah yang dibaca di dalamnya surat Al Baqarah.”

Pengertiannya adalah :
Rumah yang tidak dibacakan ayat-ayat Al Qur’an adalah seperti Kuburan. Arti secara kebalikannya [Mafhum Mukhalafah] bahwa Kuburan bukanlah tempat untuk membaca ayat-ayat Al Qur’an.

عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا

Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Jadikanlah (sebagian dari) shalat kalian ada di rumah kalian, dan jangan kalian jadikan ia sebagai kuburan.” [HR. Bukhari]

Dari sahabat Jundab bin Abdullah Rasulullah sebelum meninggal pernah berwasiat:

أَلاَ فَلاَ تَتَّخِذُوا القُبُوْرَ مَسَاجِدَ فَإِنِّي أَنْهاَكُمْ عَنْ ذَلِكَ (رواه مسلم

“Ingat-ingatlah, maka janganlah kalian semua menjadikan kuburan sebagai masjid (tempat ibadat). Karena sesungguhnya aku melarang kalian semua dari perbuatan itu”. (HR. Muslim).

Dari Abu Hurairah Rasulullah bersabda:

لاَ تَجْعَلُواْ بُيُوْتَكُمْ قُبُوْرًا. وَلاَ تَجْعَلُوْا قَبْرِى عِيْدًا (رواه أبوداود

“Janganlah engkau jadikan rumah-rumahmu sebagai kuburan (sepi dari ibadah) dan jangan engkau jadikan kuburanku sebagai tempat perayaan” (HR. Abu Dawud).

TABUR BUNGA
Sebagian kaum muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu ‘anhuma. (H.r. Bukhari: 8 dan Muslim: 111). Mereka beranggapan bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah.

Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:

Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan doa dan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إني مررت بقبرين يعذبان فأحببت بشفاعتي أن يرفه عنهما ما دام الغصنان رطبين

“Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafa’atku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah.” (H.r. Muslim: 3012).

Hadits Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah doa dan syafa’at nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yang basah.

Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu meringankan adzab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah Ta’ala,

تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا (٤٤)

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun.” (Q.s. Al Israa: 44).

Makhluk hidup senantiasa bertasbih kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering.

Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitu pula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya. Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

“Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di kuburnya).” (Fathul Baari 3/223).

Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau.

Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan Nabi tersebut merupakan kekhususan beliau adalah pengetahuan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’ala dan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (٢٦)إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (٢٧)

“(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya.” (Q.s. Al Jinn: 26-27).

Kalangan yang menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama.

Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka (su’uzh zhan) kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allam dan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah ta’ala saat mengkaji kitab ‘Umdatul Ahkam).

Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syari’at kita.


Iya, campur mencampur ajaran ini tanpa sadar sudah diajarkan dan menjadi keyakinan nenek moyang kita dulu yang ternyata sebagian dari kaum muslimin pun telah mewarisinya dan gigih mempertahankannya.

Lalu apakah kita lebih memegang perkataan nenek moyang kita daripada apa-apa yang di turunkan Allah kepada RasulNya?

Allah berfirman :

وَإِذَا قِيلَ لَهُمُ اتَّبِعُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ قَالُوا بَلْ نَتَّبِعُ مَا أَلْفَيْنَا عَلَيْهِ آبَاءَنَا أَوَلَوْ كَانَ آبَاؤُهُمْ لا يَعْقِلُونَ شَيْئًا وَلا يَهْتَدُونَ

”Dan apabila dikatakan kepada mereka :”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah”. Mereka menjawab :”(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari (perbuatan) nenek moyang kami”. Apakah mereka akan mengikuti juga, walaupun nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat petunjuk?” (QS Al Baqoroh ayat 170)

Allah berfirman :

وَلا تَلْبِسُوا الْحَقَّ بِالْبَاطِلِ وَتَكْتُمُوا الْحَقَّ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ

“Dan janganlah kamu mencampuradukkan Kebenaran dengan Kebatilan dan janganlah kamu sembunyikan kebenaran sedangkan kamu mengetahuinya” (QS Al Baqarah 42)

Allah subhanahu wa ta’ala menyuruh kita untuk tidak boleh mencampuradukkan ajaran agama islam (kebenaran) dengan ajaran agama Hindu (kebatilan) tetapi kita malah ikut perkataan manusia bahwa mencampuradukkan agama itu boleh, Apa manusia itu lebih pintar dari Allah???

Selanjutnya Allah berfirman :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا ادْخُلُوا فِي السِّلْمِ كَافَّةً وَلا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ

“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu”.[QS. Albaqoroh : 208].

Oleh karena itu, kita patut merenungkan pernyataan As Subki, bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyari’atkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar dalam pensyari’atan sebuah amalan.

Telah diprediksi jauh pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam; dimana dalam sabda beliau:

لَتَتْبَعُنَّ سُنَنَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ شِبْرًا شِبْرًا وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ ، حَتَّى لَوْ دَخَلُوا جُحْرَ ضَبٍّ تَبِعْتُمُوهُمْ

“Sungguh kalian akan mengikuti (perlakuan) orang yang sebelum kalian, sejengkal sejengkal, dan sehasta demi sehasta, sehingga seandainya mereka masuk ke lubang dhab (binatang seperti biawak) sekalipun tentu kalian tetap mengikuti mereka.”

Kami bertanya: “Wahai Rosululloh, apakah mereka itu Yahudi dan Nasrani?”. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

فَمَنْ

“Maka Siapa (lagi kalau bukan mereka)?”

[HR. al-Bukhori 7320 dan Muslim 6952, dan ini lafazh al-Bukhori.]

Dari Abdullah bin Amr bin Al-Ash radhiallahu anhuma dia berkata: Sesungguhnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا

“Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain kami.”
(HR. At-Tirmizi no. 2695)

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ

“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”.
(HR. Abu Daud no. 4031 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 1/676)

Allah berfirman :
“Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam. Dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.”
(QS An-Nisaa`:115)

Semoga Allah menunjuki kita untuk selalu mengikuti jejak Rasulullah dan para shahabatnya, dan menjauhkan kita dari jalan orang-orang kafir para penghuni neraka. Aamiin.

Wallahu a’lam

Tinggalkan komentar